Rindu Si Anak Pemulung
Entah
apa yang sedang dia fikirkan, aku tidak tahu. Sedari, sejam yang lalu dia hanya
duduk dan terus memperhatikan langit. Aku mencoba untuk memperhatikan juga apa
kira-kira yang sedang diperhatikan anak itu. Aku mencoba memandang lebih dekat
berusaha agar menemukan satu titik yang sekiranya apa yang ku lihat adalah apa
yang sedang dilihat anak itu. Tetapi aneh. Yang ku lihat di depan sana hanya
bentangan canvas biru ciptaan sang empunya langit. Malahan kini birunya langit
sangat bersih, tanpa ada awan yang biasanya bergelantungan di sana.
Aku
merubah posisi kepalaku kembali, hingga akhirnya kuputuskan untuk bertanya saja
pada anak kecil ini. Apa gerangan yang sedang ia perhatikan. Terlebih yang
menjadi pusat perhatianku adalah kegelisahan yang terpancar dari sikap, mata
dan gerakan tangannya yang sedikit-sedikit melemparkan batu ke danau seakan
sedang membuang sesuatu yang sangat ia benci. Ah, itu baru penilaianku saja.
“hei,
adik kecil. Sedang apa disini, kok bermenung?”
akhirnya
kata-kataku cukup membuat anak kecil yang kini ada di sampingku ini
terperanjat. Bahkan spontan ia langsung berdiri dan nyaris terpeleset. Tetapi
berhasil aku cegah. Alhamdulillah dia tidak terjatuh ke tepian danau.
“hayolo,
hati-hati dik”
Ada
rasa bersalah yang menyelimuti hatiku, kala kulihat dengan jelas lukisan
kekecewaan di wajah itu. Adik itu ternyata habis menangis. Karena ku lihat
jelas dari wajah dekil yang penuh dengan coretan-coretan daki yang sebagian
telah terkikis oleh air matanya.
Pandanganku
pun makin aku perluas, aku perhatikan seluruh tubuhnya. Hanya ada baju sobek
dan celana sekolah dasar pendek yang membalut badan tipis situ. Pakaian itu
begitu kotor dan kumal. Akhirnya aku bisa mendefinisikan sendiri siapa anak
kecil yang masih saja berdiri di depanku saat ini. Dia adalah seorang pemulung,
itu terlihat karena tidak jauh dari tempat ia duduk tadi ada sebuah keranjang
terbuat dari rotan yang di dalamnya terdapat beberapa botol bekas minuman.
Botol-botol tersebut terlihat lebih manis ada di dalam keranjang itu ketimbang
merajalela di sepanjang jalan atau nongkrong dimana-mana, berserakan.
Saat
lamunanku perlahan memudar, aku sadar adik tadi telah beranjak ke tepian anggar
yang lainnya. Tidak jauh dariku. Aku hanya menyadari sekilas saat ia berpindah
tempat.
Saat
aku tanyakan lagi, adik itu menangis. Aku menjadi sangat kasihan padanya.
Tetapi rasa penasaran akan apa yang terjadi dengannya lebih besar bagiku saat
itu ketimbang harus mengerti dan meninggalkan dia sendirian disana.
Tetapi
yang tak ku duga. Si anak kecil yang dari tadi kulihat sangat gelisah ini
akhirnya membuka suara juga. “Ibu jahat…” Tangisnya akhirnya memecah. Seperti
beriringan dengan riak danau yang bergejolak makin hebat. “kenapa dengan ibu
adik?” Cukup kaget sebenarnya dengan ucapan itu. Perlahan aku tanya kembali,
berharap akan ada jawaban lagi.
“ibuku
jahat. Ibu pembohong kak!” kini nadanya malah lebih tinggi dari isakan
tangisnya. Dan saat itu entah berapa butir kerikil kecil yang ia lempar ke
danau. Hingga danau yang tidak bersalah malah harus rela menjadi objek
kekesalan si anak tersebut.
Perlahan
ku coba untuk merasuki pikiran si anak kecil yang sedang menangis ini. Aku
mencoba menelusuri sendiri, apa kira-kira yang tengah terjadi dengan si anak
kecil. “ibu kamu gak jahat kok dik” satu senyumku cukup membuat dia tidak
percaya dan dalam menatapku. Dari matanya, telah berbicara bahwa kekecewaan
yang ia rasakan sungguh besar dan penuh arti. Mungkin hanya dia saja yang lebih
mengerti. Aku paham. Ada batas yang tidak bisa aku selami dalam menilai apa
yang sedang orang lain rasa dan fikirkan.
Tidak
terasa sudah satu jam saja aku berdua duduk di tepian danau ini. Bercengkrama
dengan alam, menyaksikan cerita si anak kecil. Ternyata ia begitu menyesali
kepergian ibunya yang telah terlebih dahulu menyerahkan diri ke haribaanNya.
Ada janji manis yang masih ditunggu si anak kecil dari sang ibu. Ada rasa rindu
yang ia tidak tahu dimana tepian berlabuhnya. Ada rasa sepi dan sakit sendiri
yang begitu melanda, menyiksa tubuh lusuh si anak ini. Kini dia hidup sebatang
kara. Temannya pun tak banyak, hanya beberapa pemulung dan tentunya keranjang
pemberian ibunya. Hanya benda itu yang selalu ia bawa kemana-mana. Benda itu
yang memberi makan untuknya. Ya, memang lewat keranjang itu saja, ia bisa
mengganti tumpukan sampah dengan beberapa rupiah.
Dahulu
semasa hidup, kemanapun melangkah ia selalu bersama-sama dengan ibunya. Menjadi
masalah atau faedah bagi orang lain ia tidak peduli. Segala yang ia kerjakan
yang penting halal. Itu pesan yang selalu dituturkan ibunya, ketika memang
tidak sedikit orang yang memandang sinis pada penampilan dan bau peluh
menyengat yang berasal dari pakaian dan isi sandangan keranjang mereka. Ada
yang mengejek juga, memandang hina, menutup hidung dan segera pergi menjauh.
Hal itu sudah menjadi sangat biasa bagi mereka. Toh, apa yang mereka kerjakan
sebenarnya juga bermanfaat bagi mereka yang acuh pada kebersihan dan sesukanya
membuang sampah sembarangan. Jarang sekali kan ada orang memberikan jasa
seperti ini -memulung.
Penyesalan
itu makin membanjir ketika si anak kecil ingat dengan semangat yang selalu ia
dapatkan dari ibunya. Sentuhan lembut dan pelukan sang ibu selalu setia menjadi
sandaran atas setiap kesedihan maupun juga kebahagian yang ia rasakan. Tetapi
itu dulu. Kini tidak lagi. Segala asa, harapan dan cita-citanya harus kandas
dimakan masa. Begitu juga dengan janji-janji ibunya untuk selalu bersama dan
bahkan berjanji akan menyekolahkan dia lagi. Hal itu selalu menjadi semangat
yang membara baginya. Meski kini tampaknya api yang dulu berkobar-kobar itu
perlahan mulai meredup dan hanya menunggu angin yang lebih kuat saja lagi untuk
memadamkannya.
Kini
aku telah mengerti dengan gulana yang dirasakan si anak kecil ini. Aku pun
malah ikut menangis. Tetapi tidak serta merta aku ikut menumpahkannya di depan
si anak kecil. Tangis itu hanya aku simpan di hatiku. Mencoba untuk menahan dan
menekannya kuat-kuat, agar tidak muncrat seketika.
Ada
rasa pilu yang ikut merasuki hati ku saat setelah aku mendengarkan cerita si anak
kecil yang ternyata bernama Abdi itu. Ia begitu merindukan ibunya. Ia yang
sangat mencintai dan menyayangi ibunya, namun ia tidak akan pernah bisa lagi
bersama di dunia dalam menetaskan mimpi-mimpinya.
Haru
biru itu akhirnya pecah saat aku tersadar bahwa terik mulai terasa menyengat
kulit. Akhirnya aku putuskan untuk pergi, bukan meninggalkan si Abdi sendirian,
tetapi bermaksud ingin membawanya ke sebuah warung nasi untuk makan bersama.
Aku tidak tahan melihat anak semalang itu. Di dalam perjalanan masih banyak
yang diceritakan oleh Abdi padaku. Ikhlas dan sabar, hanya itu yang bisa aku
kata itu yang bisa aku sematkan di hati Abdi. Aku yakinkan padanya untuk terus
mendoakan Almarhum ibunya. Kemudian menjadi anak yang shaleh adalah salah satu
cara yang akan membuat ibunya tetap tersenyum disana. Subhanallah, Abdi
menerima kata-kataku. Setidaknya, kini ia sedikit lebih baik dari awal aku
bertemu dengannya. Yaitu beberapa jam yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar